AYAM dan telur
bukanlah jenis makanan yang asing bagi penduduk Indonesia. Kedua jenis makanan
tersebut sangat mudah dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan
di desa, hampir semua penduduk menjadi peternak ayam meski dalam skala kecil.
Sayangnya, fakta tersebut tidak
menjamin bahwa tingkat konsumsi ayam dan telur penduduk Indonesia tinggi. Dalam
penelitian, disebutkan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap ayam dan telur
hanya 7 kg ayam dan 87 butir telur per tahun per kapita.
Jumlah di atas ternyata masih
sangat jauh dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan
Filipina.
Sebagai gambaran, masyarakat Malaysia sudah
mengkonsumsi telur rata-rata 311 butir per kapita per tahun dan daging ayam 38
kg per kapita per tahun. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Sebab sebagai
makanan dengan kandungan protein yang tinggi, ayam dan telur mestinya menjadi
pilihan yang mudah dan murah bagi masyarakat untuk mendapatkan kecukupan
protein hewani.
Ada banyak
faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat Indonesia terhadap ayam
dan telur ini. Misalnya saja adanya mitos bahwa telur menjadi penyebab penyakit
bisul pada anak-anak masih sangat kuat dipegang oleh ibu-ibu terutama dari
kalangan berpendidikan rendah.
Padahal anggapan ini sangat keliru.
Anak yang sering makan telur ternyata memiliki tingkat kecerdasan yang lebih
tinggi dibanding anak yang kurang makan telur.
Anggapan yang menyesatkan juga
dijumpai pada ayam broiler. Ada sebagian masyarakat yang takut makan ayam
broiler dengan alasan mengandung hormon yang bisa membahayakan kesehatan.
Padahal ayam broiler pertumbuhannya cepat karena merupakan hasil seleksi
genetik dari ayam yang memiliki tingkat pertumbuhan diatas rata-rata dan
pemberian pakan yang tepat.
Faktor-faktor tersebut diduga
menjadi penyebab dari sekian banyak alasan mengapa konsumsi ayam dan telur
masyarakat Indonesia masih rendah.
Beberapa pendapat yang mengatakan
bahwa rendahnya konsumsi ayam dan telur masyarakat Indonesia akibat rendahnya
daya beli mereka, menurut Dawami tidaklah sepenuhnya benar. Sebab banyak orang
tua yang justru lebih mengutamakan pengeluaran untuk hal yang tidak penting
dibanding untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.
Padahal jika uang tersebut dialihkan untuk
membeli ayam dan telur maka kebutuhan gizi anak dan keluarganya akan tercukupi.
Tapi nyatanya mereka tidak melakukan hal itu.
Masyarakat perunggasan lanjutnya akan terus
berupaya mendorong kesadaran masyarakat agar meningkatkan konsumsi telur dan
ayam sebagai sumber protein hewani yang murah meriah dan aman. Salah satunya
melalui kegiatan festival ayam dan telur pada 21 Oktober 2012 di Parkir Timur
Senayan yang tahun ini untuk kedua kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar